Sunday, November 26, 2017

Rokok Bikin Ratusan Triliun Hangus untuk Biaya Kesehatan

Rokok Bikin Ratusan Triliun Hangus untuk Biaya Kesehatan


Rokok kerap dikaitkan sebagai biang atas munculnya berbagai macam penyakit, mulai dari penyakit jantung, kanker, stroke hingga gangguan kesuburan pada wanita. Dalam hal ini, kerugian tersebut diderita dari segi kesehatan. Namun, sebenarnya berapa biaya kesehatan yang keluar akibat rokok? 

Beranjak dari pemikiran itu, Kementerian Kesehatan melakukan sebuah penelitian. Selama ini pengobatan untuk sekian penyakit akibat rokok dapat dikatakan cukup tinggi.

Baca juga : Sepuluh gangguan tidur dan solusi

"Jika ditotal, kerugian ekonomi pada 2015 untuk biaya kesehatan sebesar Rp596,61 triliun," ungkap Soewarta Kosen dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan RI saat presentasi riset mengenai ‘Nilai ekonomi dan kesehatan tembakau di Indonesia’, di Aula Siwabessy, Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu (22/11). 

Soewarta menghitung besaran biaya ini berasal dari komponen biaya belanja rokok, Disability Adjusted Life Years (DALYs) atau Hilangnya Tahun Produktif, dan total belanja karena penyakit yang timbul akibat tembakau. Total belanja di sini hanya dihitung dari biaya layanan kesehatan langsung. Soewarta berkata, hitungan ini belum termasuk data mengenai biaya layanan kesehatan tak langsung sehingga data belum dapat digabungkan.

Beban ekonomi sebenarnya lebih rendah dari riil karena belum memperhitungkan biaya tidak langsung selama pengobatan misalnya biaya transportasi dan waktu produktif keluarga," tambahnya. 

Dalam laporan penelitian yang dilansir Kemenkes, pada 2015, konsumsi rokok rata-rata orang per hari adalah 12,3 batang atau 369 per bulan. Bila rata-rata harga rokok per batang ialah Rp700, maka belanja rokok per kapita per bulan sebesar Rp258.500 atau setahun sebesar Rp3.099.600. Perkiraan total belanja rokok pada perokok aktif sebesar 36,3 persen dari total jumlah perokok aktif dikali Rp3.099.600 ialah Rp208,8 triliun. 

Sedangkan komponen DALYs pada 2015 menunjukkan terdapat 8.558.601 DALYs, kehilangan tahun produktif karena morbiditas, disabilitas dan kematian dini yang disebabkan oleh tembakau. Total terdapat 33 penyakit yang timbul akibat tembakau termasuk aneka kanker, TBC, diabetes dan asma. 

Menurut IMF, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar US$3,362 atau Rp43.706.000. Jadi jika dihitung maka kerugian makroekonomi sebesar US$28,7 miliar atau Rp374,06 triliun. 

Soewarto melanjutkan, untuk biaya kesehatan (rawat inap), ia mengambil dari data Asuransi Kesehatan Nasional pada RS kelas B pada 2015 sebesar Rp13,6 triliun. Sedangkan untuk biaya rawat jalan dengan asumsi satu kunjungan per kasus sebesar Rp53,4 miliar.

Perlu ada penajaman

Jumlah yang cukup fantastis ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk Profesor Ascobat Gani dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Ia mengkritik formula yang digunakan Soewarta dalam menghitung total kerugian ekonomi akibat tembakau atau rokok. 

Ia menjelaskan, PDB terdiri dari beberapa komponen yakni Consumption (pengeluaran rumah tangga), Government (pengeluaran pemerintah), Investment (pengeluaran investasi), Export (ekspor) dan Import (import). Pada riset Soewarto, ia menggunakan total PDB sebesar US$3,362, padahal dalam angka ini mencakup seluruh komponen PDB. 

"Padahal kita hanya ingin menghitung Consumption-nya, pengeluaran rumah tangganya. Dan kalau dilihat juga menurut data dari Kementerian Keuangan kita, kira-kira belanja rumah tangga itu sebesar 73,9 persen dari total PDB," jelas Profesor Ascobat pada CNNIndonesia.com usai peluncuran buku "Health and Economics Costs of Tobacco in Indonesia" di Aula Siwabessy, gedung Kemenkes, Jakarta Selatan, Rabu (22/11).

Apabila dihitung, 73,9 persen dari US$3.362 ialah US$2.484. Kemudian angka ini dikalikan DALYs sehingga kerugian makroekonomi sebesar Rp276 trilyun. 

"Ada selisih cukup besar, tapi memang bukan berarti kita anggap angka pengeluarannya jadi kecil. Namun hal ini perlu jadi perhatian," ucapnya. 

Di sisi lain, menurut Profesor Ascobat, merokok merupakan keputusan individu. Segala jurus memang sudah dilakukan pemerintah demi mengurangi jumlah perokok, tapi tetap saja, merokok atau tidak jadi keputusan masing-masing. Ia berkata, perlu ada riset dengan pendekatan sosiologis, psikologis dan kultural. 

Apa yang menyebabkan orang merokok? Hal ini perlu dilihat dari sosiologis, apakah merokok karena kebutuhan di suatu komunitas atau seseorang diterima dalam kelompok saat dirinya merokok, atau bisa juga lingkungan yang memang mayoritas perokok. 

Sementara, dilihat dari sisi psikologis, ada orang yang merasa dirinya lebih produktif saat merokok atau menemukan ketenangan bersama asap rokok. Sedangkan yang ketiga, sisi kultural. Ia menjelaskan, ada cultural bound di mana merokok adalah bagian dari budaya. Tidak merokok sama saja bukan bagian dari komunitas budaya tersebut. 

"Jika kita menemukan hal-hal yang membuat orang memutuskan untuk merokok maupun hal-hal yang membuat orang berhenti merokok maka barulah bisa diformulasikan intervensi apa yang baiknya dilakukan," tutupnya. 

0 comments:

Post a Comment

Komentarlah yang baik dan sopan.
Dilarang meninggalkan link aktif!